Saturday, December 5, 2009

Shari'a Compliant vs Shari'a Based

Sebuah tulisan menarik Jhordy Kashoogie Nazar dari detik.com menambah wawasan saya mengenai perbankan syariah.
Salam
Vicks
Bekerja di bank syariah
http://berbanksyariah.blogspot.com
http://mistervicks.co.cc

Shari'a Compliant vs Shari'a Based
http://suarapembaca.detik.com/read/2009/11/18/093515/1243789/471/sharia-compliant-vs-sharia-based?882205470

Jakarta - Tidak diragukan lagi bahwa saat ini perkembangan industri keuangan Islam dunia dimotori oleh produk yang berbasis shari'a compliant. Namun, agar industri keuangan Islam bisa berkembang lebih pesat ke arah yang positif dan memenuhi tuntutan shari'a industri yang umurnya masih muda ini memerlukan produk yang berbasis shari'a based.

Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis akan memaparkan persamaan dan juga perbedaan antara shari'a compliant dan shari'a based. Di samping itu pentingnya produk yang berbasis shari'a based bagi industri keuangan Islam dunia. Khususnya Indonesia.

Ada satu persamaan antara shari'a compliant dan shari'a based yaitu terletak pada terpenuhinya rukun kontrak atau aqad sesuai dengan ketentuan shari'a. Rukun tersebut adalah adanya penjual, pembeli, barang yang diperdagangkan (mauqud alaihi), harga (thaman), dan serah terima (ijab qabul).

Biasanya rukun ini didokumentasikan oleh para penasihat keuangan shari'a di bank shari'a untuk menyetujui produk tertentu. Tidak terpenuhi salah satu komponen dalam rukun tersebut menyebabkan tidak sahnya kontrak tersebut (void).

Namun, ada dua perbedaan penting yang mendasar antara produk shari'a compliant dan shari'a based. Pertama, shari'a compliant product bentuk (form)-nya halal atau legal dalam perspektif shari'a. Tetapi, substansinya (substance)-nya belum tentu halal.


Bisa jadi 80% halal, 40% halal, bahkan 0% halal! Sedangkan shari'a based product tidak hanya form-nya halal. Tetapi, substansinya juga halal dan dijamin 100% halal. Sayangnya mayoritas produk bank shari'a secara global masih pada tahapan shari'a compliant. Belum sampai pada tahapan shari'a based.

Hal ini bisa terlihat pada kontrak Bay Al Inah (sell and buy back contract) dan versi pihak ketiganya. Tawarruq (tripartite sale) yang masih marak digunakan oleh bank shari'a di berbagai belahan dunia. Kontrak Bay Al Inah biasanya digunakan pada produk Bay Bithaman Ajil (BBA) home financing, personal financing, dan kontrak Tawarruq biasanya digunakan pada working capital financing, Islamic hedge funds melalui commodity murabahah.

Di sini penulis tidak menjelaskan secara detail tentang proses tersebut. Tetapi, inti dari kontrak tersebut. Inti dari kontrak tersebut adalah secara form adanya kontrak jual-beli antara customer dan bank yang mana terlihat halal. Tetapi, secara substansi tidak ada perpindahan barang dari salah satu pihak di dalam kontrak tersebut.

Dalam kata lain substansi kontrak tersebut adalah kontrak pinjaman uang (debt contract) yang sama sekali tidak berbeda dengan produk bank konvensional dan haram dalam perspektif shari'a. Inilah yang disebut samaran/ replikasi produk bank konvesional dengan label Islam yang masih diperdebatkan dalam kalangan penasihat keuangan shari'a dan ulama di industri keuangan Islam.

Sebenarnya kontrak tersebut masih tidak bisa dikatakan shari'a compliant. Tetapi, inilah jargon yang diklaim oleh penasihat keuangan shari'a dalam menyetujui produk tersebut. Oleh karena itu untuk membedakan mana produk yang halal dan haram adanya jargon shari'a based.

Produk shari'a based adalah produk yang dasar (base)-nya sumber hukum Islam yaitu Al Quran dan As Sunnah atau dalam kata lain murni mematuhi sumber hukum Islam. Oleh karena itu produk shari'a based ini dijamin 100% halal dan sangat dicintai oleh pakar ekonomi Islam seperti Nejatullah Shidiqi, Umer Chapra, dan shari'a scholars yang idealis seperti Wahbah Al-Zuhayli.
Kontrak yang berlandaskan shari'a based ini adalah jual beli di mana jelas ada perpindahan barang dari penjual ke pembeli sesuai harga yang disepakati, Musharakah, dan Mudharabah (joint venture partnership). Pada kontrak ini adanya risk sharing di antara pihak yang bersangkutan dan sistem bagi hasil.

Di samping itu juga ada Salam. Pembeli memesan komoditas untuk diserahkan setelah beberapa bulan oleh produsen dengan membayar harga komoditas di awal kontrak.

Penerapan kontrak Musharakah bisa terlihat pada produk Musharakah Mutanaqisah untuk pembiayaan rumah yang mulai diterapkan oleh beberapa bank shari'a. Customer dan bank sama-sama mempunyai hak milik di awal kontrak (joint ownership) dan secara berturut-turut kepemilikan rumah tersebut berpindah kepada customer dengan membayar uang sewa (rental payment) berdasarkan daerah setempat dengan menggunakan kontrak sewa (ijarah).

Produk ini sudah diterapkan oleh berberapa bank shari'a seperti RHB Islamic Bank Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia. Demikian pula Salam. Kontrak ini bisa melindungi petani atau wong cilik dari fluktuasi harga hasil panen mereka secara harga panen dibayar di awal kontrak oleh sang pembeli atau distributor. Menariknya kontrak Salam ini sebenarnya berpotensi untuk diinovasikan menjadi alat mitigasi risiko bagi bank shari'a dan investor.

Perbedaan yang kedua adalah objektif Shari'a (Maqasid Al Shari'ah). Shari'a compliant belum tentu mempunyai unsur maslahah seperti tertuang dalam objektif shari'a. Sedangkan shari'a based sudah pasti mempunyai unsur maslahah. Hal ini bisa terlihat pada shari’a compliant stock investment Islamic Hedge Funds.

Perputaran uangnya masih berputar di antara investor dan sektor keuangan. Atau dalam kata lain belum ada kontribusi terhadap sektor riil di ekonomi dan masih rentan dengan spekulasi di pasar modal. Di dalam shari'a based produk seperti musharakah/ mudharabah sukuk (surat obligasi shari'a), Islamic microfinance berdasarkan kontrak musharakah/ mudharabah mempunyai potensi sangat besar untuk kontribusi terhadap sektor riil di ekonomi dikarenakan produk tersebut berdasarkan real asset. Namun, sayangnya Industri keuangan Shari'a dunia masih enggan menggunakan produk shari'a based.

Pertumbuhan Keuangan Islam di Indonesia: Shari'a Compliant atau Shari'a Based Penulis sangat bersyukur bahwa pertumbuhan keuangan Islam di Indonesia saat ini bisa dikatakan shari'a based growth. Hal ini dikarenakan Bank Shari'a Indonesia tidak menggunakan kontrak 'inah/ tawarruq secara Dewan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Bank Indonesia (BI) tidak memperbolehkan kontrak tersebut digunakan. Walaupun efeknya pertumbuhan perbankan shari'a di Indonesia hanya berkisar 2%-3%.

Perbankan shari'a di Indonesia bisa tumbuh dengan sehat dan halal. Namun, di sini penulis juga menghimbau agar Indonesia juga berhati-hati dalam mengeluarkan sukuk ritelnya. Jangan sampai kontrak yang digunakan sama dengan kontrak yang digunakan untuk mengeluarkan surat berharga konvensional. Sangat disarankan kontrak yang digunakan adalah kontrak Musharakah/ Mudharabah. Kontrak ini adalah shari'a based dan bisa berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor riil di Indonesia.

Akhir kata penulis berharap bahwa tidak hanya Indonesia saja yang bisa menggunakan produk shari'a based. Tetapi, juga negara lain yang mempunyai sektor keuangan Islam juga bisa menggunakan produk shari'a based. Walaupun untuk mencapai tahapan itu sepertinya akan memakan waktu yang lama. Semoga Indonesia bisa menjadi perintis untuk mencapai tahapan tersebut. Wallahualam.
Jhordy Kashoogie Nazar
nazar.jhordyk@gmail.com
Penulis adalah kandidat Master Islamic Finance, Durham Islamic Finance Program (DIFP), Durham University, Anggota Islamic Economics Forum for Indonesian Development (ISEFID).

No comments:

Post a Comment